Inkonsistensi Kebijakan Cukai Tembakau
Kedua, pelanggaran berikutnya, pada konteks paradigmatis. Pemerintah tidak mengalokasikan sebagian dana cukai, untuk aspek pengen-dalian barang yang dikenai cukai; terutama pengendalian konsumsi rokok. Dana cukai dimasukkan ke kas APBN secara total dan digunakan untuk keperluan pembangunan. Padahal, seharusnya, sesuai dengan filosofi mh tax, sebagian dana cukai dialokasikan untuk pengendalian konsumsi. Praktek internasional, d-ua persen dana cukai untuk kesehatan secara langsung. Jadi, kalau pada 2011 pemerintah meraup cukai Rp 52 triliun, maka idealnya dua persennya untuk sektor kesehatan. Di Inggris, Australia, bahkan Thailand, dua persen dana cukai langsung dialokasikan untuk kampanye bahaya rokok dan pengobatan penyakit yang ditimbulkan oleh rokok. Di Thailand, untuk mengelola dana tersebut dibentuk sebuah lembaga independen yang bernama Thai Health Foundalion.Ketiga, lebih ironis lagi, pengalokasian dana DBHCT (Dana Bagi Hasil Cukai Tembakau), justru untuk pemberdayaan industri rokok, khususnya industri rokok kecil. Benar, sebagian dana juga terciprat untuk sektor kesehatan, tapi tidak secara langsung. Dana untuk kesehatan, yang jumlahnya sangat kecil ler-cangkok dalam sub “kesejahteraan masyarakat”. Bahkan, penulis mendapatkan informasi, khususnya dari Dinas Kesehatan Kota Bogor dan Kota Bekasi, dana DBHCT tidak boleh dialokasi-i kan untuk sektor kesehatan. Loh, ini kebijakan macam apa? Bagaimana mungkin sebagian dana cukai yang mustinya langsung dialokasikan untuk sektor kesehatan, ini malah dilarang!
Alami Kelumpuhan
Dengan konfigurasi persoalan yang demikian, cukai sebagai instrumen pengendalian konsumsi tembakau, praktis mengalami ke-lumpuh.in Bukti untuk mcriunjak- kan hal itu gampang. Pertama, konsumsi rokok terus mengalami peningkatan signifikan. Bahkan, kini posisi Indonesia menempati urutan ketiga besar (setelah Tiongkok dan India) untuk konsumsi rokok, yakni 70 jutaan perokok aktif. Jika dielaborasi lagi, dua dari tiga laki-laki dewasa di Indonesia adalah perokok aktif. Jumlah produksinya pun jugatak kepalang (anggung, per tahun mencapai 26S miliar batang. Secara keseluruhan, menurut analisa Lembaga Demografi Universitas Indonesia, jumlah perokok di Indonesia terus meningkat. Pada 1995 jumlahnya 34,7 juta, sedang pada 2007 mencapai 65,2 juta. Remaja yang menderita penyakit akibat rokok (15-19 tahun) naik dari 7 persen pada 1995 menjadi 19 persen pada 2010. Seharusnya, dengan instrumen cukai, jumlah perokok dan jumlah produksi rokok mengalami penurunan (minimal konstan).
Kedua, terjadi peningkatan signifikan jumlah perokok di kalangan remaja dan anak-anak, bahkan tercepat di dunia. Yang lebih ironis lagi, fenomena baby smoker (bayi perokok) pun tak terhindarkan. Menurut pernyataan Gubernur Kalimantan Timur, saat ini di Samarinda terdapat 15.000 anak dibawah usia 9 tahun yang menjadi perokok aktif. Ketiga, jumlah perokok di kalangan masyarakat miskin juga meningkat tajam. Malah, menurut Kepala BPS, mayoritas perokok di Indonesia adalah masyarakat miskin. Pantas, jika rumah tangga miskin di Indonesia justru lebih banyak mengalokasikan duitnya untuk konsumsi rokok, yakni nomor dua (12,4%), setelah konsumsi beras dan padi-padi-an. Seharusnya, kalau instrumen cukai efektif untuk mengendalikan konsumsi rokok, maka anak-anak, remaja dan masyarakat miskin tak akan mampu mengakses rokok. Dengan demikian, pemerintah harus mengakhiri kebijakan yang diskriminatif terhadap, tembakau (rokok). Sama-sam,a barang yang dikenai cukai, mengapa produksi dan distribusi rokok dibiarkan melenggang menjadi barang bebas? Sekali lagi, kendalikan konsumsi rokok, larang iklan dan promosinya; sebagbiimrta filosofi universal cu-kai dan atau amanat UU tentang Cukai. Tanpa itu, pemerintah menjadi institusi kelas wahid dalam melakukan pelanggaran produk perundang-undangan, dan melakukan pembiaran (legalisasi) praktek genosida oleh industri rokok . Penulis adalah Anggota Pengurus Harian YLKI
By. Tulus Abadi