Pengelolaan Dana Cukai Tembakau Tak Transparan

JAKARTA – Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APH) menilai, pemerintah tidak transparan dalam pengelolaan dana bagi hasil cukai hasil tembakau (DBHCHT). Dana cukai yang seharusnya dikembalikan untuk menyejahterakan petani tembakau, justru dipakai untuk mematikan keberlangsungan hidup petani.”Pemerintah banyak menggunakan DBHCHT untuk kegiatan yang tidak berhubungan dengan petani tembakau, bahkan untuk petani lebih banyak untuk pengalihan tanaman. Ini jelas mengingkari petani tembakau,” ujar Ketua APTl Wisnu Brata di Jakarta, Minggu (20/5).Menurut Wisnu, DBHCHT banyak digunakan untuk keperluan di luar kepentingan petani, seperti pengadaan kendaraan dinas. Untuk itu, pemerintah harus transparan dan mempertanggungjawabkan penggunaan dana tersebut kepada publik. “Sebab, selama ini tidak ada informasi utuh mengenai penggunaan dana tersebut,” kata dia.Secara terpisah. Ketua Departemen Hubungan Antarlembaga Asosiasi Masyarakat Tembakau Indonesia (AMTI) Mohammuruad Sinol juga menyoroti peruntukan dana bagi hasil cukai hasil tembakau ke dinas kesehatan (dinkes). Sebab, langkah itu tidak signifikan dalam meningkatkan kualitas tembakau serta bagi kesejahteraan petani tembakau.

Sinol seperti dikutip Antara menjelaskan, substansi penggunaan DBHCHT tersebut untuk peningkatan kualitas tembakau dan produknya yang dihasilkan petani, supaya kese-jahteraan mereka lebih meningkat. Pemanfaatan DBHCHT yang di alokasikan ke dinkes ternyata tidak/ selaras dengan semangat awal penggunaan dana bagi hasil tersebut”Sesuai hasil evaluasi yang kami lakukan di berbagai daerah. DBHCHT yang dialokasikan ke dinkes ternyata dimanfaatkan untuk membuat program anti-rokok yang merupakan produk tembakau. Ini yang membuat kami heran. Dana dari tembakau dibuat untuk menyerang produk tembakau,” ujar dia.Sinol juga mengemukakan, secara kelembagaan, pihaknya akan meminta elemen masyarakat yang tergabung dalam AMTI, seperti Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTl), untuk mendorong pemerintah daerah memanfaatkan DBHCHT sesuai penggunaannya.Sementara itu. Manajer Riset Lembaga Katalog Indonesia Jamsari menilai, ketidaktransparanan pemerintah dalam penggunaan DBHCHT menunjukkan pe-merintah tidak menjalankan mandat Undang-Undang No 14/2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP). Pasal 7 ayat 2 UU KIP menyatakan, badan publik wajib menyediakan Informasi Publik yang akurat, benar, dan tidak menyesatkan. “Publik tidak pernah mendapatkan informasi akurat daripemerintah mengenai pengelolaan dana DBHCHT, padahal dalam UU KIP terdapat aturan informasi yang wajib disediakan dan diumumkan secara berkala oleh badan publik, salah satunya mengenai laporan keuangan.” ujar Jamsari. (Ina)
By. Ina

Print Friendly, PDF & Email
line