Leluasa, Rokok Memangsa si Belia

Industri rokok gencar menggaet anak-anak dan remaja menjadi perokok baru. Pemerintah justru terkesan membiarkan.
£ -W”””EROKOK remaja * I J telah menjadi fak-j tor penting dalam JL perkembangan setiap industri rokok dalam 50 tahun terakhir. Perokok remaja satu-satunya sumber perokok pengganti. Jika para remaja tidak merokok, industri akan bangkrut sebagaimana sebuah masyarakat yang tidak melahirkan generasi penerus akan punah.Demikian kutipan yang diambil dari memo internal perusahaan rokok RJ Reynolds Tobacco Company tertanggal 29 Februari 1984. Tak jauh berbeda dengan inti memo itu, sebuah laporan peneliti Myron E Johnson ke Wakil Presiden Riset dan Pengembangan Phillip Morris, perusahaan rokok asal Amerika, menyebut Remaja hari ini adalah calon pelanggan tetap hari esok karena mayoritas perokok memulai merokok ketika remaja. Pola merokok remaja sangatlah penting bagi Prillip Morris.Kedua ungkapan itu menggambarkan arti penting remaja bagi keberlangsungan industri rokok. Remaja adalah sasaran utama strategi pemasaran industri rokok dalam menciptakan pelanggan baru.Strategi itu tampaknya berhasil. Setidaknya di Indonesia, jumlah perokok usia anak terus meningkat.Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) juga mencatat sejak 1995 hingga 2004 prevalensi perokok remaja usia 15-19 tahun meningkat sebanyak 144%. Perinciannya dari 13,7% pada 1995 menjadi 32,8% pada 2004. Yang lebih memprihatinkan, perokok yang mulai mengisap produk itu pada usia 5-9 tahun meningkatempat kali lipat, dari 0,4% pada 2001 menjadi 1,8% pada 2004.

“Pada 2010 jumlah anak yang menjadi perokok pemula mencapai 21 juta anak. Diperkirakan, angka itu semakin meningkat tahun ini,” ujar Ketua Komnas Perlindungan Anak (Komnas PA) Arist Merdeka Sirait, baru-baru ini.Kondisi itu, menurutnya, tidak lepas dari agresivitas para pengusaha rokok dalam mempromosikan produk mereka ke kalangan anak muda. Anak-anak itu menjadi sasaranpemasaran industri rokok untuk menggantikan konsumen-konsumen tua yang telah berhenti merokok akibat tiga hal, yakni gangguan kesehatan, meninggal akibat dampak rokok, ataupun meninggal karena faktor lain.Melalui sponsorship di berbagai kegiatan khas remaja seperti di bidang olahraga, musik, seni, dan budaya, industri rokok mendekati generasi muda. Juga melalui slogan-slogan iklan seperti Enjoy aja, Gak ada loe gak raine, U Are W, danEkspresikan Aksimu, yang kental dengan nuansa remaja dan mencitrakan pribadi keren, inaclto, dan gaul.Celakanya, di tengah gencarnya upaya industri rokok menggaet anak-anak menjadi pelanggan baru, pemerintah absen dalam memberi perlindungan kepada anak-anak itu.”Sangat-sangat tidak ada (perlindungan pemerintah). Buktinya, pemerintah membabi buta memberi ruang iklan rokok,” tegas Arist.

Hal itu tecenmin dalam pem-biaran iklan rokok di televisi di Pasal 25 Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Pengamanan Produk Tembakau sebagai Zat Adiktif bagi Kesehatan (RPP Tembakau) yang baru direvisi pemerintah. Padahal, Pasal 113 UU Kesehatan menyatakan nikotin merupakan zat adiktif (pemicu kecanduan). Adapun UU Penyiaran No 32 Tahun 2002 Pasal 46 menegaskan, Siaran iklan niaga dilarang mempromosikan zat adiktif.Tidakkah pemerintah sadar bahwa pengaruh iklan dan pro-mosi rokok begitu besar terhadap perilaku merokok remaja? Studi dampak keterpajanan iklan rokok dan kegiatan yang disponsori industri rokok terhadap aspek kognitif, sikap, dan perilaku merokok remaja yang dilakukan Komnas PA bersama Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Prof Dr HAMKA pada 2007 menunjukkan hasil, antara lain, 29% remaja perokok menyatakan langsung menyalakan rokok ketika melihat iklan rokok, meskipun sebelumnya sedang tidak merokok.Adapun 8% remaja mengaku kembali merokok setelah berhenti, akibat ikut kegiatan yang disponsori rokok.

Batasan usia

Arist pun mengkritik RPP Tembakau yang hanya membatasi kepada pelarangan anak untuk membeli rokok. Industri rokoknya sendiri tetap dibiarkan dengan bebas mempromosikan produk mereka kepada anak-anak. “Di sini, anak malah dikriminalisasikan,” keluhnya.Hal senada juga diungkapkan pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi. Mudahnya akses masyarakat, terutama anak-anak, terhadap rokok menjadi salah satu faktor pemicu anak-anak merokok.”Kapan saja, di mana saja, rokok bisa diperoleh. Karena mudahnya ini, anak-anak jadi ingin mencoba. Harus ada upaya jangan sampai rokok bisa didapat serampangan,” ujarnya.Kondisi itu jauh berbeda bila dibandingkan dengan negeri tetangga. Di Singapura, misalnya, harga rokok per bungkus setara Rp80 ribu, jauh lebih mahal daripada harga di Indonesia yang berkisar RplO ribu.Harga yang mahal itu menyulitkan anak-anak untuk membeli. “Negara-negara tetangga sudah jauh lebih lama melakukan (perlindungan kepada anak dari dampak rokok). Mereka tahu rokok ini sangat berbahaya,” tandas Arist. Pertanyaannya kapan Indonesia memberi perlindungan yang sungguh-sungguh terhadap anak-anak sehingga mereka terhindar dari bahaya rokok? (Tlc/S-3)a rif. hu Iwan mediaindonesia.com
By. Arif Hulwan

Print Friendly, PDF & Email
line