Ribka Dilarang Pimpin Rapat Panja

JAKARTA (Suara Karya)Badan Kehormatan (BK)DPR telah mengeluarkansurat keputusan (SK)yang melarang KetuaKomisi IX DPR RibkaTjiptaning untukmemimpin rapat panitiakhusus (pansus) danpanitia kerja (panja).Menurut Ketua BK DPR M Prakosa, di Jakarta, Selasa (17/4), sanksi yang dituangkan dalam SK BK DPR yang terbit pada Januari 2012 karena Ribka terkait kasus penghilangan ayat pada Undang-Undang Kesehatan.Setelah dikeluarkan surat keputusan itu dan kemudian diserahkan ke fraksinya (Fraksi PDIP), maka Ribka sudah tidak boleh lagi memimpin rapat-rapat pansus dan panja,” kata Prakosa.Dia menegaskan, keputusan BK DPR ini harus ditaati oleh semua pihak. “Tentunya semua keputusan BK itu harus ditaati oleh semua pihak, termasuk pimpinan Fraksi PDIP,” ujarnyaPrakosa mengungkapkan, alasan dikeluarkannya SK tersebut pada Januari lalu karena masalah administrasi. “Memang ada kesalahan dari administrasi, sehingga disampaikan ke Fraksi PDIP agak terlambat Setelah reses, sekitar bulan Januari itu, baru disampaikan ke fraksinya,” tuturnya.

Sementara untuk kasus hukumnya, menurut Prakosa, akan ditangani oleh penegak hukum. “BK DPR hanya menangani masalah pelanggaran kode etik dan tata tertib DPR,” katanya.Wakil Ketua BK dari Fraksi Partai Golkar Siswono Yudhohusodo juga membe-narkan adanya sanksi tersebut Dia mengatakan, kasus itu memang belum selesai lantaran belum diketahui siapa yang menghilangkan ayat (2) di Pasal 113 dalam RUU Kesehatan.Hilangnya ayat itu diketahui ketika RUU Kesehatan yang disahkan DPR dikirimkan ke Sekretanat Negara untuk disahkan menjadi undang- undang.Karena Ribka sebagai pimpinan sidang, menurut Siswono, maka harus bertanggung jawab atas hilang nya “ayat tembakau”. “Ada pasal yang hilang. Belum tahu siapa yang menghi-langkannya,” tuturnya.Sementara itu, Ribka merasa heran dengan surat keputusan BK tersebut kare-na dirinya sudah berkali-kali menjelaskan soal ayat yang hilang pada UU Kesehatan itu. “Aneh. Padahal sudah dijelaskan panjang lebar, tidak ada ayat yang hilang, paraf pada tulisan atau coret-coretan tangan itu sebagai wacana dalam proses pembahasan,” tutur Ribka.

Sebelumnya, Koalisi Antikorupsi Ayat Rokok (KAKAR] menilai bahwa pengembalian ayat (2) Pasal-113 Undang-Undang Kesehatan tidak serta-merta menggugurkan hak untuk menuntut pelaku. Oknum-oknum yang dengan sengaja berupaya menghilangkan pasal tentang tembakau tersebut harus tetap diproses secara hukum”Hal tersebut tidak menyebabkan gugurnya hakmenuntut kepada tersangka. Para tersangka tetap dapat dimintai pertanggungjawaban pidana sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 266 KUHP,” kata Kiagus Achmad, anggota Tim Advokasi KAKAR.KAKAR mempraperadilankan Mabes Polri lantaran mengeluarkan surat perintah penghentian penyidikan (SP3) atas kasus penghilangan ayat tembakau dari UU Kesehatan. Penghilangan ayat (2) Pasal 113 UU Kesehatan itu diduga dilakukan beberapa oknum anggota DPR pascaberlangsungnya Rapat Paripurna DPR yang mengesahkan UU Kesehatan.Setelah perbuatan tersebut terungkap, pihak oknum-oknum tersebut lantasmengembalikan pasal yang dihilangkan. Atas dasar itu, termohon hakim Sorimuda Pohan melaporkan tiga anggota DPR ke Mabes Polri pada Maret 2010.Namun, setelah melakukan pemeriksaan atas barang bukti dan sembilan saksi, Mabes Polri mengeluarkan SP3 pada 15 Oktober 2010 dengan alasan perkara yang dilaporkan pemohon bukan merupakan tindak pidana. Dalam materi gugatan KAKAR disebutkan pula bukti adanya memo kepada sekretariat DPR yang diparaf tiga terlapor. Memo yang diparaf para terlapor (Ribka Tjiptaning, dkk) agar Pasal 113 ayat (2) UU No 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan dihilangkan. (RnHWAntr)

 

By. RnHWAntr

Print Friendly, PDF & Email
line