Perokok Pasif Berisiko Pneumokokus

Perokok Pasif Berisiko Pneumokokus

By. SP/Dina Manafe

Pesan yang mungkin dipampang pula di tempat lain ini adalah kampanye tentang bahaya dari dampak rokok. Isi pesan tersebut adalah merokok temyata tidak hanya berbahaya bagi perokok, tetapi juga bagi orang lain yang terpapar asap rokok tersebut.Fakta tentang dampak negatif merokok terjadi hampir di semua jenis penyakit. Dari penelitian yang dilakukan Departemen Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) dengan Dinas Kesehatan Kabupaten Lombok Tengah, NTB ditemukan anak-anak yang terpapar asap rokok dari anggota keluarganya berisiko tinggi terinfeksi kuman pneumokokus.Penelitian yang ketuai oleh Prof Sri Rezeki Hadinegoro sebagai peneliti utama dari Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI baru-baru ini ditemukan 72% dari 1.200 anak yang dilakukan pengambilan apusan di nasofaringnya, temyata merupakan perokok pasif dari anggota keluarganya yang lain. Paparan terhadap asap rokok ini dapat meningkatkan risiko untuk terjadinya infeksi kuman pneumokokus.

Penelitian ini dilakukan di lima puskesmas di Kabupaten Lombok Tengah, yaitu Puskesmas Praya, Pringgerata, Ubung,Puyung dan Mantang dengan sasaran anak sehat yang berusia dua bulan sampai lima tahun. Dari responden sebanyak 1200 subyek, 33% isolat di antaranya positif mengandung kuman pneumonia.”Setelah dilakukan pemerik- . saan dengan Polymerase Chain Reaction atau PCR didapatkan pneumokokus dengan 25 serotipe, dengan persentase 3 serotipe terbanyak adalah 6A/B, 19F, dan 23F. Hal ini berbeda dengan penelitian pada tahun 1997, di mana dari 221 isolat yang positif butkan pneumokokusnya, ditemukan pneumokokus dengan 17 serotipe, dan yang terbanyak secara berturut-turut adalah sero-grup 6, 23, dan 15,” kata Prof Sri Rezeki Hadinegoro di FKUI, Jakarta, baru-baru ini.Penelitian ini juga memperlihatkan hasil uji kepekaan pneumokokus terhadap antibiotik. Sebagian besar atau di atas 94% masih sensitif terhadap antibiotik yang biasa digunakan di puskesmas, dengan tingkat resistensi di bawah 2%.

Terutama untuk obat antibiotik cefadroxil, cefuroxime, amoxicilin, ampicilin, clindami-cin, dan penicilin. Uji kepekaan yang paling rendah adalah terhadap antibiotik kotrimoksazol, yang sensitifitasnya hanya 36 % dan resistensinya 48,6 %.Parahnya, tingkatresistensi terhadap obat kotrimoksazol.meningkat dari 12% sebelumnya menjadi 48,6% sekarang ini. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat resistensi obat ini terhadap pneumokokus semakin tinggi, dan tidak mustahil juga terjadi pada kuman-kuman yang lain.”Karena itu, penggunaan antibiotik ini sebagai pengobatan lini pertama perlu dievaluasi lagi,” katanya menambahkan.Apabila dibandingkan dengan penelitian Soewignyo tahun 1997, kepekaan pneumokokus pada penelitian ini menunjukkan penurunan dibanding penelitian sebelumnya. Prevalensi pneumonia pada penelitian ini juga menurun dibanding dengan penelitian Soewignyo.Sekitar 33% dari 1.200 anak sehat yang dilakukan pengambilan apusannya mengandung kuman pneumonia di nasofaringnya. Angka prevalensi ini menurun bila dibandingkan dengan penelitian sebelumnya, di mana waktu itu sebanyak 48%.Hal ini menunjukkan koloni-sasi pada anak sehat tidak banyak berubah. Walaupun begitu Rezeky mengimbau kuman ini harus tetap diwaspadai.

Kematian Balita

Sementara itu, Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) mencatat sekitar 20% kematian balita di Indonesia disebabkan pneumo-nia, atau satu dari lima kematian anak disebabkan penyakit tersebut. Ini menunjukkan angka kematian akibat pneumonia sangat tinggi dibandingkan penyebab lain, seperti HIV/AIDS, tuberkulosis, dan diare atau bahkan gabungan ketiganya.Data Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (P2PL) Kementerian Kesehatan menunjukkan, di dunia pneumonia merupakan penyebab kematian utama 1,5 juta anak balita setiap tahunnya. Setiap 20 detik ada satu balita yang meninggal di dunia karena penyakit ini.Setiap tahun ada 11 juta sampai 20 juta anak di dunia di rawat di rumah sakit juga karena pneumonia. Program penanggulangan pneumonia di dunia sejauh ini telah berhasil menurunkan 35% kematian anak, sehingga upaya ini terus dilanjutkan hingga sekarang.Sementara di Indonesia, pneumonia adalah penyebab kematian 13,2% balita. Sebanyak 87,9% dari kasus flu burung di Indonesia menderita pneumonia.

Ironisnya, meski menjadi pembunuh balita nomor satu, pneumonia masih belum banyak diperhatikan. Masyarakat di pedesaan maupun perkotaan banyak yang belum menyadari ancaman serius akibat penyakit ini. Masyarakat lebih memperhatikan penyakit balita seperti diare,campak, polio bahkan HIV/ AIDS.Padahal, sejak awal 1980-an sampai saat ini, pneumonia selalu menjadi penyakit yang paling banyak diderita balita ketika pemeriksaan di puskesmas. Karena itu. kata dia, diperlukan edukasi dan penatalaksanaan untuk meningkatkan kewaspadaan masyarakat.Pneumonia adalah penyakit radang infeksi akut yang mengenai paru, yang menyebabkan gejala seperti batuk, demam, napas sesak dan sesak napas. Pada kondisi berat pneumonia bisa menyebabkan kematian. Di negara berkembang, anak balita dan terutama anak di bawah dua tahun memiliki risiko terkena pneumonia.Merokok dan polusi udara di dalam ruangan lainnya dapat meningkatkan risiko terkena pneumonia. Pasien dengan penyakit kronik tertentu seperti asma, bronkitis, diabetes melitus, HIV-AIDS juga meningkatkan risiko kesakitan dan kematian karena pneumonia.Anak dengan gizi buruk biasanya memiliki sistem imun yang lemah, sehingga menempatkan mereka pada risiko yang lebih tinggi. Pneumonia disebabkan oleh kuman (mikroba, jasad renik) yang masuk ke dalam paru, berbiak, dan menimbulkan kerusakan jaringan paru. [SP/Dina Manafe]

Print Friendly, PDF & Email
line