Mengapa Konsumsi Rokok Perlu Diatur

Mengapa Konsumsi Rokok Perlu Diatur

By. Dr. Kartono Muhamad

Tembakau sebagai komoditas dagang diperkenalkan oleh Belanda ke Indonesia pada abad ke 17 dan menjadikan Batavia sebagai pusat perdagangan tembakau di wilayah Asia Timur. Belanda mengambil tembakau dari perkebunan mereka di Srilanka yang waktu itu juga merupakan jajahan Belanda. Baru di pertengahan kedua abad ke 18 Belanda mulai menanam tembakau di Indonesia. Pada abad ke-17 itu Belanda praktis memonopoli perdagangan tembakau di dunia, terutama di wilayah Asia. Berbeda dengan negara-negara Eropa yang lain yang membawa tembakau langsung dari Amerika, Belanda membuka perkebunan tembakau di berbagai wilayah di Afrika dan Asia.

Dalam buku Tobacco (A Cultural History of How an Exotic Plant Seduced Civilization), lain Gately menceritakan kelihaian Belanda dalam perdagangan tembakau. Dengan membuat suku Hottentot di Afrika Selatan ketagihan tembakau, Belanda dapat memperoleh Tanjung Harapan (Afrika Selatan) dari suku tersebut yang ditukar dengan tembakau. Diceritakan juga bagaimana Belanda membujuk pemakan sirih di Indonesia agar menukar sabut pinang dengan tembakau sebagai pembersih ludah dan gigi setelah makan sirih. Juga bagaimana Belanda mengajari orang Jawa yang gemar menggigit cengkeh untuk mencampurkannya dengan tembakau dan dijadikan rokok, yang kini bernama kretek;”The Javanese, who were addicted to cloves, were provided with tobacco mixed with pieces of clove. These fragments made an attractive crackling HOise upon combustion, which was believed to ward off evil spirits…”Ketika negara-negara Eropa lain lebih melihat tembakau sebagai produk untuk kesenangan, Belanda sudah memanfaatkan sifat ketagihan tembakau untukmemperkaya negaranya. Persis seperti pengusaha rokok sekarang ini yang memanfaatkan sifat adiktif tembakau untuk memperkaya dirinya sendiri.

Pengetahuan tentang dampak buruk tembakau terhadap kesehatan baru muncul di awal abad ke-20. Di tahun 1939, dokter Franz H. Muller dari Jerman untuk pertama kali membuktikan melalui studi epidemiologis, bahwa merokok berkaitan dengan kanker paru-paru. Pemerintah Jerman pun kemudian menyatakan “perang” terhadap rokok, antara lain dengan menyebarkan gambar Hitler dengan tulisan “Fuhrer kita. Adolf Hitler tidak minum alkohol dan tidak merokok”. Tetapi suasana perang dan juga perlawanan dari industri rokok membuat kampanye anti rokok itu tidak terdengar gaungnya. Perlawanan industri rokok tersebut, seperti diceritakan dalam buku Tobacco di atas, antara lain dilakukan dengan menyuap Partai Nazi. Meskipun demikian, pemerintah tetap melarang orang merokok di tempat umum dan dalam kendaraan umum. Juga melarang merokok bagi anggota Luftwaffe (Angkatan Udara).

Nikotin sebagai zat adiktif

Pengetahuan tentang dampak buruk rokok bagi kesehatan semakin lama semakin meningkat dengan makin banyaknya laporan bukti-bukti ilmiah di berbagai jurnal kedokteran dunia. Ternyata dari asap rokok, bukan hanya nikotin saja yang berbahaya tetapi juga zat-zat lain yang terdapat dalam asap rokok serta tar sebagai hasil pembakaran tembakau, ikut menyumbang bahaya rokok bagi kesehatan. Bahaya tersebut diperkuat oleh efek mencandu dari nikotin. Dengan adanya kecanduan, perokok akan selalu mencari rokok setiap kali ketagihan, dan dengan demikian membuat zat-zat berbahaya tadi makin menumpukdalam tubuhnya, sehingga secara berangsur mendekatkan kepada risiko penyakit akibat rokok.

Meskipun pengetahuan tentang bahaya rokok sudah cukup lama dan bahwa rokok menimbulkan kecanduan, pengetahuan tentang mekanisme bagaimana nikotin dapat mengakibatkan kecanduan relatif, belum terlalu lama. Mekanisme bagaimana kerja nikotin dalam menimbulkan kecanduan antara lain dirangkum oleh Neal L Benowitz, dalam majalah kedokteran terkemuka New England joumal of Medicine, edisi 17 Juni 2010. Nikotin menimbulkan kecanduan dengan cara mengikat sel-sel tertentu di otak yang memacu produksi dopamin, zat yang dapat menimbulkan rasa nyaman, dan selanjutnya membuat sel itu selalu memerlukan nikotin untuk memproduksi dopamin Dari rangkuman tersebut jugadiungkapkan bahwa kecanduan nikotin akan makin sulit dihentikan pada perokok yang sudah mulai merokok sejak usia muda.Jadi meskipun nikotin itu sendiri kecil peranannya dalam menimbulkan berbagai penyakit akibat rokok, sifatnya yang adiktif mem-buat perokok akan selalu menghisap rokok dan sekaligus menghisap zat-zat racun yang ada dalam rokok dan asapnya. Tetapi karena nikotin juga mempengaruhi pusat “rasa nyaman” dan pusat emosi, maka rokok juga mempunyai efek pada perkembangan kejiwaan terutama pada perokok usia muda. Jie Wu Weiss di tahun 2005 melaporkan dalam journal of Adolescence bahwa kecanduan nikotin telah membuat remaja menjadi mudah marah, bermusuhan, dan depresi. Apakah faktor ini yang telah membuat banyak anak usia sekolahyang gemar melakukan tawuran, kekerasan di Indonesia, menarik untuk diteliti.

Tetapi kecanduan nikotin sebagai awal (pintu masuk) ke kecanduan narkoba yang lebih keras sudah banyak dilaporkan. Selain melalui jalur depresi ataupun melalui peningkatan kekuatan zat adiktif. Sebagaimana diketahui, sifat kecanduan nikotin sangat tergantung dosis. Artinya kalau sudah kecanduan pada dosis tertentu, ia tidak akan terpuaskan kalau belum menghisap nikotin sebesar dosis tersebut. Kalau ia diberi rokok dengan nikotin dosis kecil, maka jumlah batangnya akan ditambah supaya dosis yang ia perlukan terpenuhi Buruknya, dosis ini makin lama bisa makin meningkat. Kalau sebelumnya cukup dengan sebungkus sehari, lama kelamaan akan meningkat menjadi dua bungkus, dan seterusnya. Kalau kemudian ia membutuhkan dosis yang lebih tinggi lagi, ia ndak akan terpuaskan oleh nikotin, lalu pindah ke zat adiktif yang lebih kuat, misalnya heroin. Oleh karena itu pada perokok remaja, akan mudah ia kelak beralih ke zat narkoba yang lebih kuatJadi, efek buruk rokok bagi kesehatan bukan sekadar penyakit-penyakit fisik seperti kanker, serangan jantung, dan lahir cacat bagi janin yang sejak di kandungan terpapar asap rokok, tetapi juga dapat berpengaruh buruk pada kesehatan jiwa. Terutama jika orang itu merokok sejak usia muda atau bahkan anak-anak. Oleh karena itulah konsumsi rokok pada anak-anak dan remaja harus dikurang semaksimal mungkin, atau bahkan dilarang sama sekali. Mengandalkan pelarangan pada kesadaran orang tua agaknya tidak cukup. Diperlukan pula intervensi negara melalui pengaturan.* Dr. Kartono Muhamad

Print Friendly, PDF & Email
line